Kamis, 17 Maret 2011

MASALAH KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA

Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

                Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak. Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.

                Dalam sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No. 62 tahun 1958.

                Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.

                Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.

                Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.

                Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran. Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
               Kawan-kawan, masalah kewarganegaraan merupakan masalah vital dalam sebuah bangsa. Dinamika sejarah bangsa telah membuktikan bahwa permasalahan kewarganegaraan belum tuntas sepenuhnya hingga saat ini. 
               Salah satu contoh fenomenal adalah masalah kewarganegaraan pemukim Tionghoa. Dua tahun lalu telah keluar sebuah UU No. 12 tahun 2006 mengenai kewarganegaraan RI yang diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi penyelesaian masalah kewarganegaraan di Indonesia. UU tersebut cukup progresif, sehingga patut kita dukung bersama implementasinya  agar kita dapat menuntaskan masalah kewarganegaraan yang telah menguras banyak  energi tersebut. 
               Sebuah yayasan yang concern terhadap permasalahan tersebut telah dibentuk  bernama IKI (Institut Kewarganegaraan Indonesia). Kalau kawan-kawan sempat  mengikuti sosialisasinya beberapa waktu yang lalu tentu tidak asing lagi. Untuk lebih mengenal organisasi tersebut, berikut saya hantarkan sedikit  informasi mengenai IKI. Saya juga mengajak kawan-kawan yang tergabung di milis  ini yang memiliki kepedulian terhadap salah satu permasalahan bangsa ini untuk  saling berkomunikasi sehinga dapat membentuk sinergi yang kuat untuk  menuntaskan masalah kewarganegaraan di Indonesia. Kita Satu, Sama, dan Setara.